JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Partisipasi pemilih pada Pilkada serentak 2024 menunjukkan angka yang rendah di sejumlah daerah. Anggota Komisi II Fraksi PKB DPR RI Mohammad Toha meminta KPU melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan pilkada kali ini.
Menurut hasil pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), tingkat partisipasi pilkada di sejumlah daerah berada di bawah 50 persen. Misalnya, di Tambora, Jakarta Barat, dan Bandung, Jawa Barat, pemilih yang menggunakan hak suaranya kurang dari separuh dari daftar pemilih tetap (DPT).
Sementara survei Charta Politika menunjukkan, Pilkada Jakarta 2024 hanya diikuti 58 persen daftar pemilih tetap. Jadi, ada 42 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput pada pilkada serentak kali ini.
Toha mengatakan, KPU harus melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan pilkada kali ini.
“Jika angka partisipasi Pilkada 2024 hanya 50 persen, bahkan di bawah 50 persen, maka angka partisipasi mengalami penurunan dibanding pilkada sebelumnya,” ujar Toha.
Pada Pilkada 2015 angka partisipasi pemilih mencapai 64,02 persen. Pada Pilkada 2017 angkanya naik menjadi 74,20 persen. Kemudian pada Pilkada 2018, tingkat partisipasi pemilih mencapai 73,24 persen. Sedangkan partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 sebanyak 73,4 persen.
“Penurunan partisipasi itu menjadi bahan evaluasi, kenapa partisipasi pemilih bisa menurun? Apa penyebabnya?,” tanya Toha.
Menurut legislator asal Dapil Jawa Tengah V itu, tentu ada sejumlah kemungkinan yang menjadi penyebab menurunnya angka partisipasi pemilih.
Misalnya, tanya Toha, apakah masa kampanye yang pendek menjadi penyebab penurunan partisipasi?
“Dengan masa kampanye yang pendek, maka waktu sosialisasi para pasangan calon (paslon) sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup. Tentu ini harus dikaji secara mendalam,” ucap Toha.
Atau, tutur Toha, sosok calon yang diusung tidak diminati masyarakat.
“Mungkin karena calon tersebut tidak dikenal masyarakat atau karena kandidat itu dari luar daerah, sehingga pemilih tidak menyukainya. Karena masyarakat tidak senang dengan pasangan calon yang diusung, mereka kemudian memutuskan untuk golput. Tentu kita akan menunggu evaluasi dan kajian mendalam yang dilakukan KPU,” papar Toha.
Toha menegaskan, Pilkada 2024 menelan biaya cukup besar yakni sekitar Rp37,4 triliun. Jadi, sangat merugi jika angka partisipasi pemilihnya rendah.
“Pilkada merupakan pesta demokrasi. Yang berpesta adalah rakyat. Jika rakyat enggan menyalurkan hak pilihnya, maka ada yang salah dengan pesta itu,” tutup Mohammad Toha. (Daniel)