JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Negara dinilai telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) sehingga adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd).
“Menangnya kotak kosong merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati,” kata Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/12/2024).
Menurut Irawan, jika memang rakyat menginginkan kepemimpinan alternatif, maka gerakan tersebut telah dimulai. Selain itu harus ada sejak proses pencalonan.
“Toh ada mekanisme perseorangan (independen) jika tidak mampu dan tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai politik. Jadi, memang harus ada yang menggerakkan,” ujarnya.
Irawan menambahkan, aspirasi atas kepemimpinan alternatif seharusnya tidak hanya pada saat proses pemberian suara (voting day), namun juga bisa mulai sejak awal di proses pencalonan.
“Akhirnya potensial juga negara dirugikan, karena harus keluar biaya lagi untuk dilakukan pemilihan ulang. Ke depan semua ini akan kita evaluasi secara holistik dan komprehensif,” ujar Politisi Partai Golkar ini.
Irawan meminta evaluasi terkait hal tersebut.
“Apakah mekanisme kotak kosong relevan,” tukas Irawan.
Anggota Baleg DPR RI itu berpendapat, yang dipilih dan berhak dipilih di tempat pemungutan suara dan di dalam surat suara adalah yang telah mengikuti proses pencalonan.
“Karena negara telah memberikan kesempatan yang setara dan kemudahan. Baik melalui jalur perseorangan atau melalui jalur partai politik, sehingga tidak perlu lagi pertanyaan lanjutan untuk setuju/tidak setuju terhadap calon yang telah melalui proses demokratis,” tutur Irawan.
Meskipun untuk saat ini, lanjut Irawan, semua pihak harus menghormati ketentuan konstitusional yang sedang berlaku mengenai dan keberadaan kotak kosong.
“Hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate), merupakan hak konstiusional. Selain itu, merupakan perwujudan dari kesetaraan dan partisipasi dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law),” ucapnya.
Sementara mengenai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah, jelas Irawan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) telah memberikan jalan konstitusional, yakni untuk dapat dicalonkan melalui jalur perseorangan (independen) atau melalui jalur partai politik.
“Awal dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, basis pencalonan hanya melalui oleh partai politik. Namun karena dinamika sosial, terdapat tafsir baru kaitannya dengan pemilihan secara demokratis yang tercantum dalam UUD 1945, dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” papar Irawan.
Menurut Irawan, adanya calon perseorangan pada saat itu merupakan suatu realitas baru dan telah menimbulkan suatu kesadaran konstitusional, yakni tentang adanya kesempatan perorangan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada.
“Secara konstitusional, disadari calon perseoranganpun harus dibebani kewajiban persyaratan jumlah minimal dukungan, yaitu terhadap calon yang bersangkutan yang mau maju dalam pilkada,” imbuhnya.
Irawan menyebut, partai politik juga dibebani syarat minimum dukungan kursi di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk mengajukan pasangan calon.
“Terhadap jumlah dukungan ini, ketentuan konstitusional terbaru yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Yaitu apabila partai politik menggunakan jumlah perolehan suara minimal yang didapatkan dalam pemilu, saat ini presentase dukungannya telah disamakan dengan dukungan perolehan suara calon perseorangan,” beber Irawan.
“Banyak daerah dan pilkada pada tahun 2024 yang menggunakan bentuk dukungan partai politik dengan basis jumlah perolehan suara partai politik,” sambung Irawan.
Irawan menilai hal itu karena lebih mudah, bukan kursi di DPRD.
“Syarat dukungan diperlukan, agar warga negara yang maju dalam pemilihan bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pemilihan kepala daerah,” tukas Irawan.
Hal tersebut, tambah Irawan, sebagai upaya untuk menjaga nilai dan kepercayaan rakyat terhadap proses pemilihan kepala daerah dan demokrasi.
“Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan turun. Ada kecenderungan dan potensial juga untuk dipermainkan secara tidak bertanggungjawab,” tuntas Ahmad Irawan. (Daniel)