JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Tidak ada urgensi mengubah aturan pencalonan Presiden dalam UU Pemilu pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024. Tetapi UU Pemilu memang harus diubah untuk merevisi aturan lain yang tidak demokratis.
Ide mengubah aturan pencalonan Presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemlihan Umum (UU Pemilu) tidak tepat. Sebab, tidak ada perintah MK untuk merevisi aturan pencalonan Presiden oleh partai politik, dan tidak pula terjadinya kekosongan hukum akibat putusan tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin kepada para wartawan, Rabu (8/1/2025).
Said mengatakan, ketika MK mengatakan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential threshold inkonstitusional, maka tidak ada tafsir lain kecuali semua partai politik yang nantinya ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2029 boleh mengusulkan capres-cawapres dengan cara berkoalisi atau tanpa koalisi.
“Ini sudah sangat ‘clear’. Tentang keberadaan Pasal 222, sudah mati dia. Tidak berlaku lagi. Ketidakberlakuan norma tersebut juga sama sekali tidak berdampak pada pengaturan lain dalam UU Pemilu. Jadi apa yang perlu direvisi?,” tanya Said.
Said mengatakan, kalau gagasan mengubah aturan pencalonan presiden didasari pada pertimbangan MK soal rekayasa konstitusional (constitutional engineering), itu juga keliru.
“Perubahan aturan pencalonan Presiden yang dibuka ruangnya oleh MK dan constitutional engineering yang disebutkan oleh MK, itu seharusnya didudukkan dalam dua konteks yang berbeda,” ujar Said.
Menurut Said, ruang mengubah aturan pencalonan presiden dibuka MK dalam konteks mengantisipasi jumlah capres terlalu banyak.
“Dalam putusannya MK mengatakan kalau mau merevisi aturan pencalonan, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak,” ungkap Said.
Dari rumusan itu, tutur Said, terlihat MK hanya memberikan opsi mengenai revisi aturan pencalonan yang ditunjukan dengan kata “dapat” atau bersifat fakultatif.
“Jadi itu bukan perintah yang bersifat imperatif. Adapun mengenai rekayasa konstitusional disebutkan MK dalam konteks memagari Pembentuk Undang-Undang agar apabila merevisi UU Pemilu, harus mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan MK,” jelas Said.
“Pembatasan yang dibuat MK meliputi: larangan membuat aturan yang membatasi hak parpol peserta Pemilu untuk mengusulkan capres-cawapres, larangan membuat syarat threshold, larangan membuat aturan yang membuka ruang dominasi parpol sehingga menyebabkan terbatasnya jumlah paslon, dan apabila hendak dilakukan revisi, maka perubahan dimaksud wajib melibatkan semua parpol dan masyarakat dalam bentuk partisipasi yang bermakna (meaningful participaton),” urai Said.
Oleh sebab itu, jelas Said, Partai Buruh menilai tidak ada urgensi untuk mengubah syarat pencalonan presiden dalam UU Pemilu pasca-putusan MK.
“Kami khawatir, apabila isu mengenai syarat pencalonan Presiden dibahas di DPR, maka akan muncul ide-ide liar dari parpol di Senayan untuk tetap membatasi hak parpol dalam memunculkan capres alternatif,” imbuh Said.
Mengenai kekhawatiran jumlah capres-cawapres akan sangat banyak di Pilpres 2029, menurut Said, hal itu tidak perlu menjadi kerisauan setidaknya karena empat alasan.
Pertama, ungkap Said, secara empiris sudah dibuktikan di Pilpres 2004, misalnya.
“Saat itu Pilpres hanya diikuti oleh 5 pasangan dari semestinya bisa memunculkan 10 pasangan capres-cawapres. Hal ini terjadi karena adanya semangat berkoalisi diantara partai-partai politik,” cetus Said.
Kedua, sebut Said, oleh karena ada dua jabatan yang dipilih, yaitu jabatan Presiden dan Wakil Presiden, maka secara logis akan muncul semangat berkoalisi diantara partai politik.
“Oleh sebab itu, jumlah pasangan calon hampir dapat dipastikan tidak akan lebih dari separuh jumlah partai peserta Pemilu,” terang Said.
Ketiga, beber Said, besarnya biaya pencalonan khususnya untuk kepentingan kampanye berkeliling Indonesia menyebabkan partai politik yang mempunyai keterbatasan dana secara rasional akan membatasi hasratnya untuk mengusung sendiri capres-cawapres.
Keempat, tukas Said, tidak meratanya kekuatan partai politik di daerah dan beragamnya aliran politik di masyarakat sudah barang tentu akan membuat banyak parpol berpikir dua kali untuk memajukan capres sendiri. (Daniel)