MITI: Indonesia jangan Ragu Koreksi Kebijakan EBET

JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump untuk mundur dari Perjanjian Paris (Paris Agreement), Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto minta pemerintah segera mengambil sikap.

Pemerintah harus berani mengevaluasi kebijakan implementasi EBET (energi baru dan energi terbarukan) menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 mberdasarkan kepentingan nasional dan kemampuan domestik.

banner 728x90

Menurut Mulyanto sekarang adalah waktu yang tepat bagi Pemerintah mengkaji ulang secara cermat program tersebut.

Menurut Mulyanto, pemerintah perlu membatasi intervensi kepentingan asing dalam penyusunan rencana implementasi program EBET.

“Mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris sebagaimana disampaikan Presiden Trump beberapa waktu lalu, perlu kita sikapi dengan bijak. Termasuk di antaranya adalah program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” ujar mantan Anggota Komisi Energi DPR RI Periode 2019-2024 ini, Kamis (13/2/2025).

Mulyanto mengingatkan Indonesia jangan sampai didikte oleh negara lain atau terlalu memaksakan diri.

“Implementasi program EBET ini harus mempertimbangkan berbagai faktor. Bukan sekedar ikut-ikutan atau gagah-gagahan. Selain pertimbangan lingkungan, yang tidak kalah penting adalah pertimbangan ekonomi domestik dan ketahanan energi,” ucap Mulyanto.

“Kita tidak ingin di tengah keterbatasan ruang fiskal yang ada, demi program EBET kita malah memilih opsi pembangkit listrik yang mahal atau menjadi lebih tergantung kepada teknologi impor,” tambah Mulyanto.

Apalagi, tutur Mulyanto, memaksakan diri untuk melakukan program pensiun dini PLTU yang jelas-jelas tidak menguntungkan kita secara ekonomis.

“Atau gagah-gagahan meliberalisasi sektor kelistrikan nasional, dengan mengadopsi skema power wheeling yang melanggar konstitusi,” tegas Mulyanto.

Mulyanto meminta Indonesia jangan termakan janji-janji manis negara maju terkait implementasi program EBET ini.

“Uni Eropa saja maju-mundur dalam implementasi program ini pasca perang Rusia-Ukraina meletus. Sekarang AS malah menarik diri dari Perjanjian Paris. Kita harus fokus pada kepentingan nasional kita (national interest),” beber Mulyanto.

Mulyanto mengingatkan kebijakan negara maju juga seringkali egois.

“Bantuan pendanaan murah kepada Indonesia untuk program energi hijau senilai USD 20 miliar atau setara Rp300 triliun sampai hari ini tidak jelas. Apalagi setelah AS keluar dari Perjanjian Paris,” tandas Mulyanto.

Untuk diketahui saat berbicara di Mandiri Investment Forum 2025, di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (11/2/2025), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyinggung terkait keputusan AS keluar dari Paris Agreement (Perjanjian Iklim Paris).

Situasi demikian, menurut Bahlil, memengaruhi langkah Indonesia terkait implementasi program EBET ini ke depan. (Daniel)

Tinggalkan Balasan