JAKARTA — Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengkritisi mekanisme pengembangan penyidikan bukti baru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto (HK) terkait perkara Harun Masiku (HM).
Petrus berpendapat, Saeful Bahri menempati posisi kunci bagi KPK mengungkap bukti baru dugaan keterlibatan HK kepada Wahyu Setiawan (WS) dan Agustiani Tio Fridelina (ATF) penerima suap dan Saeful Bahri (SB), selaku pemberi suap.
“Meski diyakini tidak terdapat bukti baru yang mengarah kepada keterlibatan HK, namun secara mekanisme sebuah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hanya bisa diuji lewat PK (Peninjauan Kembali), tidak bisa ditambal sulam lewat mekanisme pengembangan penyidikan, melainkan hanya lewat PK dari tangan terpidana SB, WS dan ATF,” ujar Petrus kepada wartawan, Rabu (19/2/2025).
Itu berarti, sergahnya kemudian, KPK tidak boleh mendaur ulang dan mencoba memanipulasi kesaksian SB, WS dan, ATF dkk dengan apa yang disebut pengembangan penyidikan, sehingga dapat dipastikan bahwa KPK hanya ingin menciptakan peradilan sesat lewat sumpah palsu atau saksi-saksi palsu.
“Ini jelas merupakan penghinaan sekaligus jebakan terhadap institusi KPK, institusi penuntut umum KPK dan/atau, Kejaksaan, Badan Peradilan (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga Mahkamah Agung (MA),” jelasnya.
Lantas, Petrus mempertanyakan, apakah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga MA, mau begitu saja menerima jebakan konyol ala KPK yang sekedar merusak apa yang disebut asas kepastian hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Melalui Putusan PK
Petrus menilai, KPK sesungguhnya baru bisa mengungkap dugaan keterlibatan HK dalam suap HM kepada WS dan ATF, apabila terdapat Putusan PK yang menyatakan bahwa berdasarkan bukti baru di mana ada aliran uang dari HK dan atas rekomendasi Hakim PK dalam putusannya itu, baru KPK lewat suatu penyelidikan dan penyidikan dapat menjerat HK.
“Namun, di sini terdapat problem atau kendala Yuridis yang sangat mendasar yaitu PK itu oleh hukum positif hanya diberikan kepada Terpidana dan/atau Ahli Warisnya, tidak kepada JPU dan Penyidik,” ujarnya.
Karena itu, imbuhnya, pintu masuk untuk menerobos kebuntuan atas ambisi KPK sekedar memenjarakan HK adalah manakala terpidana SB atau WS atau AFT mengajukan PK berdasarkan bukti baru yang ditemukan kemudian, bahwa uang yang diberikan kepada WS dan ATF, sebagian berasal dari HK.
Oleh karena itu, menurut Petrus, hanya dengan proses persidangan dan/atau putusan PK atas permohonan SB atau WS atau ATF, maka KPK dapat menjerat HK sebagai pelaku lain yang belum diproses atau setidak-tidaknya ketika HM sudah berada di tangan KPK karena ditangkap atau menyerahkan diri.
Petrus mengatakan bahwa dalam KUHAP dan Peraturan MA, tidak terdapat satupun mekanisme pengembangan kasus pidana setelah semua saksi, terdakwa, ahli dan alat bukti-bukti lain diperiksa dan diuji berkali-kali secara berjenjang hingga MA dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Pengembangan untuk menjerat pelaku lain hanya selama tahap pemeriksaan masih di tingkat penyidikan masih berjalan lewat Pasal 55 KUHP,” terangnya.
Dengan demikian, menurutnya, sulit diterima akal sehat atau legal reassoning manakala KPK melalui pengembangan entah KPK dapat angin surga dari mana mengaku memiliki bukti bahwa HK bersama HM dan SB terlibat suap kepada WS dan ATF.
Karena itu, sambung Petrus lagi, pernyataan HK bahwa kasus yang menimpa dirinya adalah merupakan kriminalisasi hukum atau produk dari penyalahgunaan wewenang oleh Penyidik KPK terhadap dirinya, sangat mungkin benar, karena KPK berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif yang mudah diorder (pesanan).
Membahayakan Negara Hukum
Di lain sisi, Petrus menilai, sikap KPK berupa krimimalisasi tidak boleh ditoleransi, dan untuk itu harus dihentikan karena membahayakan prinsip negara hukum.
Dan lembaga yang netralitasnya masih bisa dipercaya saat ini hanyalah institusi Praperadilan, sebagai mekanisme kontrol eksternal terhadap perilaku penyidik dan/atau penuntut umum KPK, Polri dan Kejaksaan dalam perkara pidana.
Menurut Petrus, MA semestinya sangat berkepentingan untuk menjaga netralitas hakim praperadilan di manapun berada di seluruh Indonesia, terutama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Karena KPK dipastikan jadi termohon praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, satu dan lain hal juga mengingat potensi politisasi hukum terhadap tersangka KPK sangat terbuka lebar,” tambahnya.
Ia pun menegaskan, MA harus ingat bahwa banyak hakim yang jadi korban OTT KPK selalu tidak berdaya, konon karena hakim praperadilan dan hakim tipikor pada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia rekam jejaknya di kantong KPK, entah lewat mekanisme apa mereka dapat kantongi rekam jejak hakim-hakim itu.
“Karena itu, mungkin saja dalam OTT terhadap hakim secara prosedural tidak tepat, tetapi hakim yang bersangkutan tidak berdaya menghadapi teror dan intimidasi yang konon sering dilakukan oleh oknum penyidik KPK,” pungkas Selestinus.
Sebelumnya, HK disangka dalam kasus dugaan suap terkait perkara HM. Kemudian, HK juga dijerat dengan dugaan perintangan keadilan atau obstruction of justice. HK dijerat dengan Pasal 12 UU Nomor 13 tahun 19 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 5 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal perintangan penyidikan. (EDO)