KPK Tahan Sekjend PDIP Hasto

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Sekretaris Jenderal (Sekjend) PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan perkara buron Harun Masiku. Hasto ditahan setelah menjalani pemeriksaan kedua sebagai tersangka.

Tampak, di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2025), Hasto terlihat keluar dari ruang pemeriksaan mengenakan rompi tahanan oranye pada pukul 18.08 WIB.

banner 728x90

Kedua tangan Hasto pun terlihat sudah terborgol.

Hasto tampak digiring oleh petugas KPK. Hasto akan menjalani penahanan di Rutan KPK untuk 20 hari pertama.

Pemeriksaan Hasto ini merupakan yang kedua kali setelah penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan suap dan merintangi penyidikan Harun Masiku. Sebelumnya, Hasto diperiksa sebagai tersangka pada Senin (13/1/2025).

Sebenarnya, KPK memanggil Hasto untuk diperiksa pada 17 Februari lalu. Namun Hasto tidak hadir dengan alasan telah mengajukan gugatan praperadilan lagi.

Hasto Kristiyanto memenuhi pemeriksaan sebagai tersangka hari ini. Hasto mengaku siap lahir-batin jika nantinya langsung ditahan KPK.

“Saya sudah siap lahir batin (jika langsung ditahan),” jawab Hasto saat ditanyai kesiapannya jika langsung ditahan KPK oleh wartawan di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).

Namun, Hasto berharap dirinya tidak ditahan KPK. Menurut Hasto, apabila dirinya ditahan, itu dianggap sebagai wujud hukum yang tebang pilih.

“Ketika itu terjadi, semoga tidak, ya ini saya yakini akan menjadi pupuk bagi demokrasi, ini akan jadi benih-benih bagi upaya untuk mewujudkan suatu sistem penegakan hukum yang sebenar-benarnya tanpa tebang pilih,” ujar Hasto.

Seperti diketahui,Kasus yang menjerat Hasto ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020. KPK kemudian menetapkan Wahyu Setiawan yang saat itu Komisioner KPU RI, orang kepercayaan Wahyu bernama Agustiani Tio, pihak swasta bernama Saeful, dan Harun Masiku selaku caleg PDIP pada Pileg 2019 sebagai tersangka.

Wahyu, Agustiani, dan Saeful telah menjalani proses hukum hingga divonis bersalah oleh pengadilan. Wahyu dinyatakan bersalah menerima suap sekitar Rp 600 juta agar mengupayakan Harun Masiku menjadi anggota DPR lewat pergantian antar Waktu (PAW)

Sementara itu, Harun Masiku masih menjadi buron. Pada akhir 2024, KPK menetapkan Sekjen PDIP Hasto serta pengacara bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka baru.

KPK menduga Hasto berupaya menggagalkan Riezky Aprilia, yang memperoleh suara terbanyak kedua, menjadi anggota DPR lewat jalur PAW setelah Nazarudin Kiemas meninggal dunia. KPK menyebutkan Hasto diduga meminta KPU segera melaksanakan putusan MA berkaitan dengan PAW agar Harun Masiku bisa masuk DPR.

Hasto juga diduga menyuruh Donny melobi Wahyu Setiawan agar menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih dari dapil I Sumsel. Donny juga disuruh Hasto mengantar duit suap ke Wahyu. KPK menduga sebagian uang suap ke Wahyu itu berasal dari Hasto.

Selain itu, Hasto diduga berupaya merintangi penyidikan Harun Masiku. Hasto diduga memerintahkan Harun Masiku merendam handphone sebelum kabur.

Hasto juga diduga memerintahkan salah satu pegawai merendam ponselnya sebelum diperiksa KPK pada Juni 2024. KPK juga menduga Hasto meminta saksi memberi kesaksian palsu ke KPK.

Sebelumnya, Hasto melakukan upaya hukum praperadilannya akhirnya tidak diterima hakim tunggal Djuyamto, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Permohonan gugatan praperadilan Hasto teregister dengan nomor No 5/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel. Pemohon dalam gugatan ini Hasto Kristiyanto, sedangkan termohon adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cq pimpinan KPK.

Praperadilan ini diajukan oleh Hasto usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap bersama Harun Masiku dan merintangi penyidikan Harun Masiku. Hasto meminta agar status tersangkanya dinyatakan tidak sah.

Hakim tunggal Djuyamto, Kamis (13/2/2025), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memutuskan, praperadilan yang diajukan kubu Hasto kabur dan tidak jelas sehingga tidak dapat diterima.

“Menyatakan permohonan praperadilan pemohon kabur atau tidak jelas. Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima,” kata hakim tunggal Djuyamto.

Putusan praperadilan itu pun memiliki konsekuensi hukum. Status tersangka Hasto Kristiyanto pun kini menjadi sah usai praperadilannya tidak dapat diterima.

Seperti diketahui, ‘Tidak diterima’ merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu ‘niet ontvankelijke verklaard’ atau yang biasa disebut sebagai putusan NO. Dibaca ‘En O’, bukan NO dalam bahasa Inggris yang artinya ‘tidak’.

NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.

Dikutip dari buku ‘Hukum Acara Perdata’ yang ditulis Yahya Harahap, alasan putusan NO yaitu:

1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;
2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.

“Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” demikian bunyi Pasal 56 ayat 1 UU MK.

Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sedangkan Pasal 51 soal syarat legal standing, identitas pemohon, dan uraian kejelasan permohonan.

Putusan ‘tidak diterima’ dan ‘ditolak’ memiliki dampak hukum berbeda. Apabila perkara ‘NO’, maka perkara tersebut masih bisa digugat lagi/diadili lagi sehingga tidak berlaku asas nebis in idem, sedangkan perkara ‘ditolak’, perkara tersebut tidak bisa digugat lagi karena sudah pernah diadili pokok perkaranya atau dikenal dengan istilah nebis in idem.

Terkait Hakim tunggal Djuyamto tidak menerima gugatan itu, kuasa hukum Hasto, Todung Mulya Lubis, buka suara terkait putusan hakim. Dia mengatakan putusan praperadilan ini bukanlah akhir.

“Jadi buat saya ini satu sideback, kemunduran. Apa yang akan kami lakukan, Maqdir akan menjelaskan, tapi this is not the end, penegakan hukum dan keadilan adalah kewajiban yang ada pada pundak kita semua dan kita akan melakukan apa yang akan kita lakukan. Tapi apa yang akan kita lakukan uji akan kita rumuskan dan diskusikan bersama nantinya,” kata Todung Mulya Lubis seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Tutur Todung, pihaknya kecewa dengan putusan praperadilan ini. Dia menyayangkan pertimbangan hakim yang tidak menerima permohonan praperadilan ini.

“Kami harus mengatakan kecewa dengan putusan praperadilan yang dibacakan dan saudara-saudara sudah mendengarkan saksama. Kami mengharapkan satu putusan dengan pertimbangan hukum, dengan legal reason. (Ralian)

Tinggalkan Balasan