Retret kepala daerah yang digagas Prabowo Subianto bukanlah sekadar ajang silaturahmi atau koordinasi teknis. Ini adalah strategi politik terselubung untuk membangun hierarki kekuasaan baru, di mana kepala daerah—yang seharusnya otonom—ditempatkan sebagai “bawahan” yang wajib berhadap-hadap dengan pusat.
Dalam rezim pemilihan langsung, di mana kepala daerah memiliki mandat rakyat setara dengan presiden (hanya berbeda skala wilayah), retret semacam ini tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi desentralisasi yang menjadi roh Reformasi 1998.
1. Romantisme Sentralisme Orde Baru
Pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) adalah salah satu capaian terbesar demokrasi Indonesia pasca-Reformasi. Ia menjamin bahwa kepala daerah bertanggung jawab pada rakyat pemilihnya, bukan pada Jakarta. Namun, retreat yang diinisiasi Prabowo mengisyaratkan nostalgia pada era Orde Baru, ketika kepala daerah adalah “kepanjangan tangan” pusat—diangkat oleh presiden, loyal pada Golkar, dan tunduk pada komando Jakarta.
Ada kontradiksi brutal di sini: Prabowo, yang terpilih secara langsung sebagai presiden, justru ingin menempatkan kepala daerah—yang juga dipilih langsung—sebagai subordinat. Ini adalah penghinaan terhadap prinsip otonomi daerah. Jika kepala daerah harus “lapor” dan “berkoordinasi” secara intensif dengan pusat, lalu apa bedanya dengan gubernur era Soeharto yang hanya jadi pion politik?
Retret ini juga mengabaikan realitas politik: kepala daerah punya basis kekuatan dan jaringan patronasenya sendiri. Mereka bukanlah menteri yang bisa di-remote dari Jakarta. Dengan memaksa mereka hadir dalam forum tertutup, Prabowo mungkin ingin menguji sejauh mana kepala daerah bisa di-kooptasi atau di-breakdown independensinya.
2. Sentralisme Birokratis
Wacana retreat ini tidak bisa dipisahkan dari ambisi Prabowo membangun sentralisme birokratis—sistem di mana kebijakan daerah harus selaras dengan “komando nasional”. Ini berbahaya karena bertentangan dengan UU Otonomi Daerah yang memberi kewenangan luas kepada daerah mengelola urusan sendiri.
Contoh konkretnya:
– Peleburan agenda daerah ke dalam “prioritas nasional”: Program unggulan kepala daerah bisa dipaksa mengikuti proyek mercusuar pemerintah pusat, seperti food estate atau IKN, sekalipun tidak sesuai konteks lokal.
– Politik anggaran yang timpang: Daerah yang “loyal” mungkin mendapat akses lebih mudah ke Dana Alokasi Khusus (DAK), sementara yang kritis dipersulit.
– Penyeragaman kebijakan: Kebijakan progresif daerah (misalnya perlindungan lingkungan atau inovasi layanan publik) bisa dibatalkan dengan dalih “tidak sejalan dengan visi presiden”.
Retreat kepala daerah adalah ritual legitimasi untuk normalisasi sentralisasi. Dengan mengumpulkan mereka di satu forum, Prabowo ingin menciptakan ilusi “harmoni”, padahal yang terjadi adalah pemaksaan kesepakatan di balik pintu tertutup.
3. Tujuan Terselubung, Konsolidasi Kekuatan Menuju 2029
Jangan naif: retreat ini bukan untuk kepentingan atau kesejahteraan daerah, melainkan investasi politik jangka panjang Prabowo. Ada tiga agenda tersembunyi:
1. Mengidentifikasi loyalis dan penentang: Prabowo akan memetakan kepala daerah mana yang bisa dijadikan sekutu dalam mengamankan suara di Pilpres 2029, dan mana yang perlu di-“netralisir”.
2. Membentuk mesin politik di tingkat tapak: Kepala daerah yang kooperatif akan dijadikan ujung tombak mobilisasi dukungan (baca: uang dan logistik) untuk pemilu mendatang.
3. Meredam potensi oposisi daerah: Dengan “mengakrabkan” diri, Prabowo ingin mencegah kepala daerah bersekutu dengan calon penantangnya (misalnya Anies atau Gibran).
Di sini, kepala daerah ditempatkan sebagai agen ganda: di satu sisi sebagai pejabat publik, di sisi lain sebagai operator politik Prabowo. Ini adalah konflik kepentingan yang merendahkan martabat otonomi daerah.
4. Dampak Demokrasi Direduksi
Jika retreat semacam ini menjadi rutinitas, kita akan menyaksikan:
– Melemahnya akuntabilitas kepala daerah: Mereka akan lebih takut pada pusat ketimbang pada konstituen yang memilihnya.
– Kematian inovasi daerah: Kebijakan lokal yang berani akan dikorbankan demi patuh pada “arahan Jakarta”.
– Korupsi sistemik: Koordinasi tertutup antara pusat dan daerah berpotensi menjadi ajang bagi-bagi proyek atau markup anggaran.
Lebih parah lagi, sentralisasi ini akan memperlebar jurang ketimpangan. Daerah dengan sumber daya melimpah tapi dipimpin kepala daerah kritis akan dijegal, sementara daerah miskin yang penurut “dihargai” dengan bantuan seadanya. (Direktur Eksekutif PARA Syndicate *)