JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto menilai merebaknya kasus mark-up dan oplos BBM Pertalite menjadi Pertamax menjadi tanda mafia migas masih berkuasa.
Mafia ini berhasil mempengaruhi pejabat penting di pemerintah dan BUMN dalam hal pengadaan dan distribusi migas nasional yang menguntungkan kelompoknya saja.
Anggota Komisi Energi DPR RI periode 2019-2024 itu berharap pemerintah segera melakukan pembenahan untuk melawan keberadaan pengaruh mafia migas tersebut.
“Sekarang adalah momentum yang tepat bagi Pemerintah untuk membongkar tuntas sampai ke akar-akarnya mafia migas di negeri ini. Mumpung, temuan-temuan kejaksaan cukup menggigit dan menyasar pada hal-hal yang selama ini menjadi misteri,” kata Mulyanto, Jumat (28/2/2025).
Tersangka tertinggi sementara dari kasus korupsi migas tahun 2018-2023 ini adalah Dirut PT. Pertamina Patra Niaga, yang merupakan Dirut anak perusahaan Pertamina di sisi hilir migas.
“Padahal dia baru diangkat pada bulan Juli 2023,” ucap Mulyanto menyayangkan.
Karena itu, lanjut Mulyanto, wajar kalau ada dugaan tersangka sementara ini hanyalah para aktor lapangan.
Artinya, ulas Mulyanto, ada aktor intelektual lain di balik kasus ini beserta para bekingnya.
“Apalagi kalau kita pelajari konstruksi yang dikembangkan Kejaksaan dalam kasus korupsi migas ini, salah satunya adalah dimana para tersangka telah melakukan pengkondisian untuk menurunkan readiness/produksi kilang,” ujar Mulyanto.
Sementara sisi lain, beber Mulyanto, mereka menolak minyak mentah produksi domestik karena dianggap tidak memenuhi spek harga dan kualitas. Akibatnya minyak bumi produksi domestik tidak terserap.
“Lalu, untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah maupun BBM dalam negeri, dilakukan impor. Ini kan jahat,” imbuh Mulyanto.
Mulyanto melihat aktor lapangan yang terlibat dalam kasus ini berasal dari semua sisi, baik sisi hulu maupun sisi hilir.
“Dari sisi hulu migas (PT Kilang Pertamina Internasional), dari sisi hilir migas (PT Pertamina Patra Niaga), dari sisi transportasi (PT Pertamina International Shipping), dan para broker,” terang Mulyanto.
Karena itu, tutur Mulyanto, dari temuan fakta-fakta awal ini, pemerintah harus bersungguh-sungguh untuk membongkar mafia migas ini secara tuntas.
“Jangan ragu-ragu memeriksa siapapun pejabat negara yang terlibat, baik pejabat tinggi, politikus, ataupun beking aparat.
Karena korupsi ini bukan hanya menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar, yakni mencapai Rp 193,7 triliun, tetapi juga membebani masyarakat dengan harga BBM yang mahal dan kualitas produk yang meragukan,” tukas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, pada saat kebutuhan minyak dalam negeri diperoleh dari produk impor yang harganya dimark-up, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi tinggi.
“Akibatnya beban APBN meningkat,” pungkas Mulyanto. (Daniel)