Korban meninggal dunia, baru diambil kebijakan untuk memindahkan penduduk atau Depo Pertamina, Plumpang, Jakarta Utara ?
Saya tidak dalam posisi menyalahkan siapa-siapa dibalik tragedi kebakaran pipa penerima aliran minyak mentah untuk diolah BBM tersebut.
Juga, tidak untum mengkritisi kebakaran hebat yang menewaskan sekitar 18 orang hingga detik ini, ratusan orang luka dan mengungsi serta puluhan rumah porak poranda.
Pertanyaan di atas menjadi perenungan bersama. Kenapa disebut perenungan bersama?
Sebab, jauh sebelumnya sudah sering terjadi peristiwa yang sama dalam bentuk berbeda.
Namun, solusinya selalu teknis sebab dan bagaimana mengantisipasi agar peristiwa serupa tidak terjadi dan mengambil langkah hukum terhadap para pihak yang bertanggung jawab.
Saya tidak melihat penanganan kasusnya secara holistik dan terintegrasi dengan tata kota, baik dari segi sosial, budaya dan tentu serta ekonomi, tentunya.
Mahal memang, untuk melakukan riset benar-benar riset bukan sekedar objek baru untuk memperkaya diri dan atau orang lain.
Bandingkan, dengan ongkos yang harus dikeluarkan untuk memadamkan kebakaran Depo Plumpang. Nyawa manusia tidak mungkin dikembalikan lagi.
Riset yang dilakukan dan melibatkan multi disiplin ilmu bisa menggandeng Universitas Indonesia, ITB, ITS dan lainnya.
Itu pun dengan catatan hasil riset harus dipublikasikan kepada publik agar ada masukan dan saran yang berguna untuk penyempurnaan riset sebelum menjadi bahan kebijakan.
Selain itu, perisetnya harus teruji keilmuan dan kapabilitasnya serta tanggung jawab moralnya.
Bukan periset tiba-tiba lho.
CARA BERPIKIR
Lebih jauh lagi, perlu ada kebijakan makro terkait mindset atau cara berpikir yang bertahun terjebak tekstual, baik tersirat atau tersurat.
Dalam artian apa yang sudah tertulis dan tidak tertulis sudah merupakan kebijakan mutlak tak perlu diuji seiring kemajuan sains dan teknologi.
Secara tidak sadar, kita menafikan akal yang merupakan anugerah Ilahiah yang membedakan dengan makhluk hidup lain alias Stagnan !
Contoh ekstrim, seperti pesan orang tua kepada anak-anak untuk tidak macam-macam dan aneh-aneh di luar. Pulang sekolah, kuliah dan kerja langsung pulang.
Suka atau tidak suka, cara berpikir itu mengendap dibawah sadar generasi muda penerus bangsa dan membuat tidak peduli kepada lingkungan semata takut dimarahi orang tua.
Cara berpikir normatif dan konservatif tersebut makin membentuk karakter ketiga lembaga pendidikan terperangkap sudah memberikan pelajaran, kuliah semua selesai tanggung jawab.
Tak terbersit, untuk memberikan aktivitas lain agar siswa dan mahasiswa paham dan ngerti betul tanggung jawab sosialnya.
Secara luas, cara berpikir normatif dan konservatif terjebak formalitas saat tanggung jawab di pundak dipahami dalam kerangka Aji Mumpung.
Bisa jadi, di sekitar kita terbiasa mendengar: Kapan lagi, besok Saya pensiun. Atau Saya cuma 5 tahun, besok tidak tahu apa akan terpilih lagi.
Lagi-lagi, tidak ada yang salah. “Saya hanya ngikuti aja. Dia yang begitu saja bisa kaya. Kenapa saya tidak boleh? ”
Sadar atau tidak sadar, mindset semacam itu membuat kita tidak pernah maju atau maju di tempat.
Sekedar pembanding, China dan Korea yang merdeka belakangan maju dua langkah. Nyaris, produk rumah tangga dan teknologi tingkat tinggi menghiasi kemajuan mereka saban tahun dan dipamerkan setiap perayaan hari kemerdekaan kita.
Kita?
KUHPidana produk Belanda saja baru awal tahun ini direvisi dan menjadi karya anak bangsa.
Secara tidak langsung puluhan tahun, cara berpikir penguasa saat itu untuk mempertahakan penguasaan atas Hindia Belanda digunakan ?
Pola berpikir itu membuat kita selalu terbelakang.
Trus ?
Saatnya, berani “menggugat” agar bisa tahu dasar dan filosofi setiap produk agar kita benar-benar bisa bersaing dan bukan menjadi budak produk sains dan teknologi serta budak pemikiran mereka.
Trus ?
Udah itu saja. (Wartawan Senior *)