Mencuatnya kasus Rafael Alum Trisambodo, mantan Pejabat Eselon III Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan bukan hal baru.
Bisa jadi, di kalangan pejabat penyelenggara negara Rafael lagi apes saja atau dalam konteks keagamaan, Sang Pencipta Langit dan Bumi beserta segala isinya sudah muak atas sepak terjangnya.
Ulah anaknya, Mario Dandy menjadi pembuka pandora yang selama ini terpendam rapat.
Kenapa disebut bukan hal baru. Sebab, jauh sebelumnya sudah ada kasus Bahasyim. Assifie, Gayus Tambunaan, Dhana Widyatmika yang memiliki harta jauh dari kapasitas dirinya sebagai PNS bukan sebagai Pengusaha, Youtuber atau sejenisnya.
Yang menjadi pertanyaan, perbuatan melawan hukum tersebut kembali dilakukan seolah kasus Gayus dan Dhana serta lainnya tidak membuat takut sama sekali koleganya dan institusi lain.
Seakan Penjara dan Sanksi Sosial tidak membuat kapok sama sekali. Atau memang, rasa malu sudah tidak ada sama sekali. Istilah anak Milenial: Gaya dulu, Urusan belakangan?
Sedih, prihatin tingkat dewa. Era Reformasi antitesa dari Orde Baru, praktik mengumpulkan harta tujuh turunan tidak berhenti. Malah makin menjadi-jadi dan terang-terangan dipamerkan di media sosial.
Amazing, kata keponakan menyebut pencapian sempurna dalam permainan di internet.
Sayang, kata amazing di atas dalam konteks negatif jauh dari etika dan norma hukum.
REFORMASI TOTAL
Lalu apa solusinya?
Reformasi total, jawabannya bila kasus Rafael Alun Trisambodo Dkk tidak berulang. Tentu, disertai Political Will dari Pemerintah dan DPR.
Mulai Sumpah Jabatan, Pelaporan Harta Kekayaan dan sanksinya.
Sanksi dimaksud, adalah kesamaan persepsi antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Sehingga saat perkara mulai disidik, dituntut dan divonis ada kesamaan pandangan dan tidak sebaliknya.
Ketiga cabang kekuasaan itu berkomitmen menjalankan tugas dan fungsinya sebenar-benarnya.
Soal sumpah jabatan. Sebenarnya Salin Said, Pakar Ilmu Politik sudah sempat menyinggugnya dalam acara ILC beberapa tahun lalu. Dikatakan, kenapa Indonesia sulit maju, karena Tuhan saja tidak ditakuti merujuk pada banyaknya penyelenggara negara disidik KPK.
Hanya, disini saya ingin menambahkan agar dalam sumpah jabatan disertai kalimat ancaman: bila melanggar sumpah jabatan, siap menanggung beban atas keyakinannya dan dampaknya kepada keluarga.
Menanggung beban atas keyakinannya disini maksudnya tidak mempercayai lagi keyakinan dianutnya.
Ektrim memang, tapi hal itu dilatarbelakangi kehendak agar negeri ini keluar dari masalah yang selau muncul dari rezim satu ke rezim lainnya.
Terkait pelaporan harta kekayaannya, bisa diawali pelaporan sebelum dan sesudah menjabat. Siap melakukan pembuktian terbalik atas perolehan aset-asetnya.
Hanya disini, dilakukan saat pengisian e-LHKPN sebagai deteksi dini disertai jika tidak dapat dibuktikan maka asetnya dirampas untuk negara sekaligus dipidanakan.
Hal dimaksud bukan barang baru, sebab, jauh sebelumnya telah dilakukan terhadap Pejabat Pajak Bahasyim Assifie oleh PN. Jakarta Selatan, 2 Februari 2011.
Entah, belakangan pembuktian terbalik hanya senyap terdengar dari ruang diskusi semata.
Bahasyim dinyatakan terbukti melanggar Pasal 11 UU No: 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999.
Juga dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat 1 huruf a UU No:15 / 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Lantaran tidak bisa membuktikan perolehan asetnya, Bahasyim divonis 10 tahun penjara dan harta kekayaannya senilai Rp 61 miliar dan US$ 681 153 disita untuk negara.
Terakhir, pengawasan melekat. Sudah saatnya, pejabat yang bertanggung jawab hingga dua tingkat ke atas dicopot dari jabatan jika terbukti bawahannya melanggar.
Tentu, semua bisa berjalan bila semua stakeholders mempunyai komitman yang sama demi Indonesia Maju.
Penandatangan kontrak integritas selama ini diperluas ke tingkat lebih tinggi agar komitmen tersebut tidak sekedar Macan Kertas. (Wartawan Senior *)