Bisa jadi PT. Waskita Karya (WSKT) tinggal kenangan bila aneka kasus korupsi terjadi di era-Gus Dur alias Abdurachman Wahid saat menjadi Presiden keempat (1999- 2001).
Alasannya sederhana, Departeman Sosial dan Departemen Penerangan dibubarkan Gus Dur karena menjadi “sarang korupsi. ”
Sederhana metoda Gus Dur dalam berangus korupsi. Tidak perlu pakai pidato dan atau seremoni dan pijakan hukum luar biasa terlebih dahulu, seperti UU Tipikor Nomor 31/1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20/2001.
Intinya, almarhum lebih berorientasi kepada tindakan dan bukan ancaman-ancaman yang kemudian lapuk dimakan waktu tanpa tindakan.
Waskita Karya yang sempat menjadi dambaan anak muda lulusan perguruan tinggi untuk berkarir di era Soeharto tahun 1990-an, kini justru didera praktik koruptif.
Mulai dugaan penyimpangan penggunaan dana sindikasi perbankan pada Waskita dan anak usaha PT. Waskita Beton Precast (WBP) .
Hingga jual beli tanah plant di Bojonegara, Kabupaten Serang yang memaksa Jajaran Pemkab Serang bolak -balik mendatangi Kejaksaan Agung, termasuk Bupati Ratu Atut Chasanah.
Sejumlah Dirut dan Direktur PT. WBP dan PT. Waskita Karya dijadikan tersangka dan ditahan.
Terakhir, Dirut PT. Waskita Karya Destiawan Soewardjono, Kamis (27/4) ditetapkan tersangka dan dijebloskan ke penjara !
SHOCK THERAPHY
Lalu bagaimana strategi menekan tindak pidana korupsi di BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ?
Sengaja, saya gunakan istilah BUMN sebab praktik koruptif dan manipulatif tidak hanya di PT. Waskita Karya dan anak usahanya.
Tetapi hampir terjadi pada BUMN penghasil pundi-pundi uang jumlah besar.
Di Kejaksaan Agung, tercatat BUMN yang disidik dan dituntut di meja hijau, antara lain PT. Asuransi Jiwasraya, PT. Asabri, PT. Taspen Life, PT. Krakatau Steel, PT. Adhi Persada Realty, PT. Garuda Indonesia dan lainnya.
Tidak ada cara lain tuntutan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di atas Rp1 triliun.
Saya sepakat dan mendukung upaya Jaksa Agung ST. Burhanuddin dan Jampidsus Dr. Febrie Adriansyah, khususnya yang sempat menuntut mati terdakwa Skandal Asabri Heru Hidayat dan Benny Tjokro.
Meski, kemudian tuntutan mati tersebut tidak diakomodir Majelis Hakim Pengadilan Tipikor namun upaya Febrie Dkk patut diapresiasi.
Hendaknya, tuntutan mati diperluas pada perkara-perkara lain dan Kejagung tidak “down” lantaran upaya itu belum diakomodir majelis hakim.
Sekaligus, tetap konsisten menjerat pelaku tindak pidana korupsi dengan instrumen merugikan perekonomian negara, yang pertama kali dilakukan terhadap terdakwa Irianto dalam perkara Impor Tekstil (Mafia Pelabuhan) dan diakomodir Mahkamah Agung, 2020.
POLITICAL WILL
Semua upaya yang dilakukan Gedung Bundar, Kejagung bisa tentatif sifatnya bila tidak didukung oleh kemauan politik (Political Will) Pemerintah.
Dalam artian bisa saja setelah Burhanuddin dan Febrie Adriansyah tidak lagi menjabat.
Dus, karena itu Pemerintah harus bisa mencari solusi agar tuntutan mati dan penjeratan instrumen kerugian perekonomian negara bersifat permanen.
Maka dari itu ajang Konstestasi Pilpres 2024 bukan terjebak pada elektabilitas dan pencitraan, tapi lebih menekankan pada ketegasan sikap dalam penanganan bukan pemberantasan korupsi.
Selain itu, bagaimana mengajak semua unsur mulai Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif Duduk Bersama agar tercapai pemahaman yang sama dalam penanganan kasus korupsi sehingga tidak diakomodirnya tuntutan mati Heru dan Bentjok tidak berulang.
Mudah kan, kenapa harus (dibuat) Repot, minjam istilah Gus Dur. (abdul haris iriawan)