JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Politisi senior Golkar Jusuf Kalla (JK) tetap optimis Anies Baswedan akan memenangkan Pilpres 2024 meskipun hasil beberapa lembaga survei menunjukkan elektabilitasnya kalah dengan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Optimisme JK beralasan karena hasil survei kerap sekali meleset. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain.
Demikian dikemukakan Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga kepada para wartawan, Selasa (1/8/2023).
Menurut Jamiluddin, hal itu bisa terjadi karena tiga hal.
Pertama, sebut Jamiluddin, hasil survei itu hanya potret saat survei dilaksanakan. Hasilnya tidak bisa digunakan untuk memprediksi ke depan.
“Hal itu terjadi karena pendapat umum itu sangat dinamis. Pendapat seseorang dapat berubah-ubah tergantung isu yang menerpa objek atau sosok yang dinilai,” jelas Jamiluddin.
Kalau isu mengenai objek atau sosok yang dinilai cenderung positif, lanjut Jamiluddin, maka elektabilitasnya akan berpeluang tinggi. Sebaliknya, kalau isu menerpa objek atau sosok banyak negatifnya, maka elektabilitas berpeluang akan turun.
“Jadi, elektabilitas capres saat ini tidak bisa diprediksi akan berlaku sama pada saat pencobloaan 14 Februari 2024. Hasil survei pastinya tidak memiliki kemampuan itu,” ujar Dosen Metodologi Penelitian Komunikasi Universitas Esa Unggul, Jakarta ini.
Dua, tutur Jamiluddin, terjadi kesalahan dalam penetapan sampel atau contoh penelitian. Kesalahan itu berkaitan dengan penetapan karakteristik dan jumlah sampel.
“Bisa jadi karakteriatik sampel yang diambil tidak menggambarkan karakteristik pemilih (populasi). Akibatnya, karakteristik sampel tidak merepresentasikan karakteristik pemilih (populasi),” terang Dekan Fikom IISIP, Jakarta 1996-1999 ini.
Selain itu, beber Jamiluddin, jumlah sampel yang diteliti juga akan menentukan presisinya. Kalau jumlah sampel 1.200 dan pemilihnya 205 juta, tentu presisinya rendah.
“Kalau sampelnya tidak representatif dan presisinya rendah, tentu hasil survei itu tidak bisa diberlakukan (generalisasikan) ke populasi (pemilih). Hal ini kiranya salah satu sebab kerapnya hasil survei mengenai elektabilitas capres kerap meleset,” papar Jamiluddin.
Tiga, ungkap Jamiluddin, lembaga survei tidak melaporkan hasilnya sebagaimana adanya. Hal ini kerap terjadi karena pihak yang membiayai (sponaor) survei tidak menginginkan hasil survei di rilis apa adanya. Lembaga survei akhirnya memoles hasil survei sesuai kehendak sponsor.
“Dalam situasi demikian, lembaga survei tidak lagi menjadi peneliti. Ia sudah berubah menjadi tim sukses yang mengemas hasil surveinya untuk kepentingan sponsor atau capres tertentu,” tukas Penulis Buku Riset Kehumasan ini.
Jamiluddin menilai, kehawatiran JK terhadap hasil survei sangat beralasan. Sebab, hasil survei berpeluang dibelokkan.sesuai keinginan sponsor. Hal ini tentunya semakin membuat hasil survei jauh dari akurasi.
“Kalau survei terus seperti itu, maka kredibilitas lembaga survei akan anjlog. Hal iti tentunya akan membahayakan eksistensi lembaga survei di tanah air,” pungkas Jamiluddin Ritonga. (Daniel)