JAKARTANEWS.ID -JAKARTA: Jaksa Penuntut Umum (JPU) tuntut Mario Dandy Satriyo selama 12 tahun penjara dan menanggung biaya restitusi senilai Rp120 miliar !
Tuntutan JPU cukup mengejutkan, khususnya soal penanggungan biaya restitusi senilai Rp120 miliar.
Namun, JPU beralasan kepada Pasal 8 Ayat (4) UU No. 11/2021 tentang Kejaksaan. Intinya, dalam pelaksanaan tugas dan wewenang selalu bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani.
“Kita respek atas tuntutan JPU. Dengan demikian Publik, khususnya korban terlindungi dan tidak semata menuntut pidana penjara, ” kata Praktisi Hukum Iqbal D. Hutapea, Rabu (16/8).
Dia berharap pendekatan baru JPU dalam penuntutan perkara ini diikuti seluruh Jajaran Adhyaksa agar membuat orang lain berpikir seribu kali melakukan perbuatan serupa.
“Apresiasi,” tutupnya.
PENGANIYAAN BERAT
Dalam Amar tuntutannya yang dibacakan, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (15/6) JPU menyatakan terdakwa Mario Dandy Satriyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan Penganiayaan Berat dengan rencana terlebih dahulu.
Hal dimaksud seperti diatur dalam Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan Pertama Primair Penuntut Umum
Tuntutan penjara selama 12 tahun disertai perintah terdakwa tetap ditahan.
Serta, membebankan terdakwa, saksi Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan alias Ahena dan Anak Saksi AGH (masing-masing dalam berkas perkara terpisah) bersama-sama secara berimbang dengan menyesuaikan peran serta tingkat kesalahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian untuk membayar restitusi kepada Anak korban Crystalino David Ozora Als Wareng sebesar Rp 120.388.911.030,00.
Kewajiban ini disertai ketentuan, jika Terdakwa tidak mampu membayar diganti dengan pidana penjara selama 7 tahun.
VISI JAKSA AGUNG
Dalam uraian pertimbangannya, JPU menyebutkan dasar penuntutan yang didasarkan kepada Pasal 8 Ayat (4) UU No. 11/2021 tentang Kejaksaan merupakan manifestasi dari visi Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Dimana Jaksa Agung menghendaki penegakan hukum dijalankan oleh seorang Jaksa yang tidak hanya harus “berhati bersih”, tetapi juga harus “menghidupkan hatinya” dalam menginterpretasikan hukum.
“Itulah hakikat sejati dari kredo fenomenal Jaksa Agung yang selalu mengatakan “Penegakan Hukum Berbingkai Hati Nurani”.
Pasal ini juga menonjolkan peran Jaksa yang bertindak berdasarkan hati nurani dan wajib menggali nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
Karena itulah, nilai kemanusiaan dan nilai keadilan akan selalu saling berkaitan dan melengkapi di antara satu sama lain.
“Tanpa nilai kemanusiaan, nilai keadilan tidak akan memiliki landasan moral dan etik yang kuat. Tanpa nilai keadilan, nilai kemanusiaan tidak akan dapat direalisasikan secara optimal dan menyeluruh,” pungkas JPU. (ahi)