Peradi Mengakui Telah Terjadi Kriminalisasi Advokat dalam Menjalankan Profesinya

JAKARTANEWS ID – BATAM: Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Luhut MP Pangaribuan mengemukakan, kriminalisasi yang dilakukan kelompok eksternal terjadi pada advokat pada dewasa ini ketika menjalankan jabatannya sebagai advokat.

Menurut Luhut Pangaribuan, terjadinya kriminalisasi terhadap Advokat oleh kelompok eksternal disebabkan dari multi faktor baik eksternal maupun internal. Secara
internal misalnya karena adanya “ulah oknum advokat” (ingat advokat Bakpao) dan penyalah-gunaan jabatannya oleh “oknum” ketum Organisasi Advokat dengan menjadikan OA seolah-olah ormas dengan cara “dominasi” kepemimpinannya pada saat yang sama (internal).

“Jadi advokat tidak fair jika hanya menunjuk kesalahan terjadinya seperti kriminalisasi itu sebabnya hanya pada orang lain (eksternal). Bagaimana OA disalah-gunakan “oknum” itu baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
“pengikutnya”, menurut MK yaitu dengan cara dominasi. Cara dominasi ini telah merusak “tata-kelola” OA akhirnya profesi advokat itu. Bentuk dominasinya variatif seperti nepotisme dan favoritisme bahkan mungkin dengan koruptif,” kata Luhut Pangaribuan, dalam Rakernas DPN Peradi, di Batam, Kamis (24/08/2023).

Menurut Luhut Pangaribuan, dalam kaitan ini Mahkamah Konstitusi sampai ikut “mengingatkan” adanya dominasi itu dan yang harus dihentikan. “MK menyatakan bahwa periodisasi jabatan Ketum tidak boleh lebih dari 2 kali berturut-turut atau tidak,”tambah Luhut Pangaribuan.

Oleh karena, Luhut Pangaribuan menuturkan, secara jujur harus dilihat sebab-akibatnya, transparan, jujur dan lengkap serta obyektif tentang kriminalisasi ini, yakni selain karena faktor eksternal (APH) tapi ada juga karena
sebab internal ( “Oknum Advokat”).

Seperti diketahui, Pasal 21 UU Tipikor tentang merintangi penyidikan telah menjadi alat (“loop-holes”) untuk
kriminalisasi. Luhuit mengemukakan, monopoli tafsir telah terjadi atas makna norma “merintangi” dalam pasal 21 UU Tipikor itu.

Menurut Luhut Pangaribuan, dengan monopoli tafsir ini telah menutup mata dan hati nuraninya atas adanya status, kewenangan dan kode etika advokat yang harus dirujuk sebagai dasar hukum.

“Tegasnya sekiranya semua ini dibaca, dimengerti dan diterapkan oleh APH dengan benar maka niscaya kriminalisasi itu tidak akan pernah ada. Dan sekiranya OA sudah dengan standar profesi yang kuat, kriminalisasi mungkin juga tidak akan terjadi,” terang Luhut Pangaribuan.

Dia menuturkan, dalam UU Advokat diatur kewenangan (hak) advokat mendapat segala informasi yang dibutuhkan dalam rangka pembelaan (ps 17 UU Advokat). Tapi misalnya advokat bertemu dan atau mendampingi saksi yang sudah diperiksa penyidik dimaknai sebagai telah melakukan perbuatan merintangi. Karena itu kewenangannya untuk memangil, memeriksa, menggledah bahkan menahan Advokat sesuai UU nya diterapkan secara tegas.

Menurutnya, pada hal advokat adalah penegak hukum (ps 5 UU Advokat). Dalam menjalankan kedudukannya sebagai penegak hukum itu UU menyatakan, “… advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (ps 17 UU Advokat).

Sejak awal Advokat sudah memastikan menjalankan KEAI yang menyatakan “Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan pihak lawan dalam
perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana” (KEAI, ps 7 butir e).

“Mendampingi dan bertemu dengan saksi dalam rangka menjalankan hak (wewenang) sebagaimana dalam ps 17 UU Advokat adalah tidak sama dengan “mengajari dan atau mempengaruhi” sebagaimana dalam KEAI apalagi “telah merintangi.” Oleh karena itu tidak perlu ada kecurigaan,” ujarnya. (Ralian)

Tinggalkan Balasan