JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Se-Indonesia (Fordek) menyambangi Kejaksaan Agung RI. Rombongan diterima Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Fadil Zumhana di Ruang Ali Said, Selasa (5/9/2023).
Menyambut 28 Dekan FSH se- Indonesia dan beberapa wakil dekan, JAM Pidum didampngi Sekretaris JAM Pidum, Kepala Biro Kepegawaian, dan Jaksa di lingkungan JAM Pidum. Jaksa Agung berhalangan hadir karena sedang mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR RI.
Makhrus, Ketua Fordek, mengapresiasi pelaksanaan program keadilan restoratif oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurutnya, program tersebut terbukti memberikan keadilan bagi masyarakat. .
“Dengan program ini, persepsi masyarakat tentang hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas teranulir,” kata Makhrus, yang juga Dekan FSH UIN Yogyakarta ini.
Dalam penanganan kasus-kasus terakhir yang melibatkan pejabat negara, Kejaksaan Agung telah berubah dengan menunjukkan bahwa hukum tetap tajam ke atas. Makhrus mengingatkan, sabda Nabi Muhammad yang menegaskan akan menghukum sendiri putrinya, Fatimah, apabila melakukan tindakan pidana.
“Sejarah membuktikan, bahwa Nabi Muhammad sangat tegas dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” katanya.
Sebagaimana diketahui, Jaksa Agung ST Burhanuddin menggagas penerapan keadilan restoratif yang menekankan keadilan substantif dan pemulihan korban.
Untuk mendukung inovasinya tersebut, dikeluarkan setidaknya tiga peraturan, yaitu Peraturan Kejaksaan No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Pedoman Kejaksaan (Perja) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, dan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Fadil Zumhana, JAM Pidum, menjelaskan, penerapan keadilan restoratif tersebut di antaranya dengan penghentian penuntutan perkara yang dinilainya kecil dan dialami oleh masyarakat bawah. Penghentian ini didasarkan atas adanya perdamaian para pihak. Kedua belah pihak saling memaafkan secara sukarela tanpa pemaksaan dan tekanan.
“Penghentian ini dilakukan untuk mereka yang belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindakan pidana serta ancaman pidananya denda atau penjara kurang dari 5 tahun. Selain itu, kedua belah pihak sepakat tidak akan melanjutkan ke persidangan,” ujarnya.
Dulu, kata Zumhana, prinsip yang diterapkan adalah retributif yaitu pemidanaan, dan targetnya adalah lebih pada kuantitas perkara. Dengan prinsip keadilan restoratif, sudah lebih dari 3.500 perkara yang dihentikan penuntutannya.
“Bayangkan jika setiap perkara terdapat dua pelaku maka ada 7.000 orang yang telah dibebaskan,” tandasnya.
Menurut Zumhana, kebijakan tersebut mendukung penghematan anggaran negara dengan tidak mengeluarkan biaya konsumsi selama di tahanan. Perkara kategori Tindak Pidana Umum merupakan perkara mayoritas, sekitar 95%.
Menurut Zumhana, program keadilan restoratif ini meniscayakan jaksa meningkatkan kepekaan hati terhadap persoalan hukum dan sosial di masyarakat.
“Hati nurani jaksa diasah. Penegakan hukum bersifat humanis. Jaksa melakukan profiling pelaku. Bahkan, bagi mereka yang tidak mampu, selain dibebaskan dari tuntutan juga diberikan bantuan, dengan tetap memperhatikan rasa keadilan terhadap korban. Hasilnya, 81,2% kepercayaan publik masyarakat diberikan terhadap Kejaksaan. Sebuah prestasi dalam lintasan sejarah Kejaksaan Agung,” ucapnya.
Kompetensi Jaksa
Program keadilan restoratif menuntut kompetensi jaksa lebih. Jaksa tidak cukup hanya memiliki kompetensi hukum baik pengetahuan maupun praktikal. Jaksa juga wajib memiliki kewaspadaan nurani dan ketajaman hati terhadap persoalan hukum dan keadilan masyarakat.
Karena itu, Hermon Dekristo, Kepala Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa Kejaksaan membuat berbagai program untuk meningkatkan kecerdasan hati para jaksa.
“Mereka yang memiliki kompetensi yang lengkap ini akan diberikan kesempatan untuk promosi,” kata Hermon.
Dirinya mencontohkan beberapa jaksa yang memiliki keikhlasan dan dedikasi yang kuat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Untuk menjawab kebutuhan kompetensi tersebut, Muhammad Maksum, Dekan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan siap mencetak mahasiswa sesuai kebutuhan kompetensi yang ada.
Di fakultasnya kurikulum seluruh prodi mencakup mata kuliah dasar ilmu hukum yang disepakati oleh Fakultas Hukum seluruh Indonesia ditambah mata kuliah keahlian hukum Islam dan penalaran logika hukum.
“Proses pendidikan besifat integrasi ilmu hukum dan Islam yang menjadi ciri dari Fakultas Syariah dan Hukum,” kata Maksum.
Maksum meyakini, lulusan FSH dapat memberikan kontribusi yang baik bagi institusi hukum termasuk kejaksaan. Beberapa alumni FSH di Kejaksaan membuktikan kiprah positif dan memberikan sumbangsih untuk kemajuan Kejaksaan.
Harisuddin, Dekan FSH UIN Jember menambahkan, Fordek siap mendekatkan FSH dengan kejaksaan. Diakui selama ini FSH lebih dekat dengan institusi Pengadilan dan pengacara. “Dengan pertemuan ini, diharapkan akan membuka kerja sama yang lebih luas antara FSH dan Kejaksaan,” pungkas Harisuddin. (Daniel)