JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Agar tidak membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungannya kelak di kemudian hari, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah harus cermat dan berhati-hati dalam mengembangkan program carbon capture and storage (CCS), apalagi menjadikan Indonesia sebagai hub penyimpanan karbon se-Asia.
“Harus diakui dari segi potensi, baik ladang migas atau ladang garam, yang ada di Indonesia berpeluang untuk dapat dijadikan sebagai tempat penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS),” kata Mulyanto kepada para wartawan, Selasa (12/9/2023).
Mulyanto menyebut, Kementerian ESDM memperkirakan potensi tersebut mencapai sebesar 400 giga ton CO2, di mana dari 15 proyek yang sedang dirancang oleh pemerintah saja diperkirakan mampu menyimpan karbon sebanyak 4.31 giga ton CO2.
“Ini potensi yang sangat besar bagi bisnis karbon di masa depan. Tidak banyak negara di dunia, apalagi di Asia yang memiliki keunggulan geologi seperti kita,” ujar Wakil Ketua F-PKS Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Namun, ingat Mulyanto, ada beberapa catatan penting yang tetap harus menjadi perhatian kita.
Pertama, sebut Mulyanto, dari sisi teknologi dan investasi.
“Teknologi penyimpanan karbon ini secara umum belum mapan, masih dalam tahap pengembangan terus menerus. Begitu pula besaran investasinya, yang masih harus terus dicermati,” jelas Mulyanto.
Selain itu, lanjut Mulyanto, juga terkait dengan risiko dan dampak terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungannya.
“Pengetahuan kita terhadap risiko penyimpanan karbon ini terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungannya masih terbatas. Hal terakhir ini harus menjadi perhatian penting karena walau bagaimana gas CO2 ini kan adalah limbah gas yang berbahaya,” ujar Anggota Baleg DPR RI ini.
Ketika gas berbahaya ini dalam jumlah besar diinjeksi dan dikungkung di dalam rongga lapisan batuan, jelas Mulyanto, maka perlu adanya keyakinan sistem tersebut stabil secara geologi dan aman bagi masyarakat dan lingkungannya baik saat ini, maupun di masa depan dalam jangka panjang.
Mulyanto menerangkan stabilitas dan risiko keamanan jangka panjang harus menjadi perhatian, karena ini merupakan isu yang krusial bagi sistem penyimpanan karbon melalui proses injeksi dan pengungkungan geologi tersebut.
“Ini juga terkait dengan kehandalan teknologi yang digunakan. Jangan sampai kita mewariskan kepada anak-cucu, negeri yang isi tanahnya sarat dengan rongga-rongga geologi yang berisi limbah gas berbahaya, yang sewaktu-waktu dapat bocor ke atmosfer ataupun menyebar ke badan air. Negeri kita kan bukan tempat pembuangan limbah berbahaya dari negara lain,” terang Mulyanto.
Karena itu, tambah Legislator asal Dapil Banten 3 ini, hitung-hitungan analisis risiko-manfaat antara investasi teknologi, risiko instabilitas jangka panjang dan keselamatan terhadap masyarakat dan lingkungannya, serta potensi keuntungan ekonomi harus dilakukan secara cermat.
“Hal itu perlu dilakukan bila pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai hub CCS atau tempat penyimpanan akhir (disposal) limbah gas CO2 di Asia,” tandas Mulyanto. (Daniel)