JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Masa tenang diperlukan bagi pemilih agar dapat merenungkan caleg dan capres yang layak dipilih.
Perenungan itu diperlukan setelah para pemilih mendapat gambaran visi dan misi dari capres dan caleg. Gambaran tersebut idealnya menjadi dasar bagi pemilih untuk menetapkan capres dan caleg yang akan dipilih.
Hal itu umumnya dilakukan pemilih rasional. Mereka menetapkan pilihan setelah mengetahui visi dan misi capres dan caleg.
Demikian disampaikan Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga kepada para wartawan, Senin (12/2/2024).
Sayangnya, tutur Jamiluddin, pemilih rasional tidak banyak di Indonesia. “Justru yang dominan di Indonesia dari kelompok pemilih emosional,” kata Jamiluddin.
Menurut Jamiluddin, kelompok pemilih ini memilih capres dan caleg bukan karena visi dan misinya. “Mereka memilih semata karena pertimbangan kedekatan emosional,” ujar Dosen Metodologi Penelitian Komunikasi Universitas Esa Unggul, Jakarta ini.
Jamiluddin mengingatkan, masa tenang tidak digunakan untuk merenungkan kelayakan capres dan caleg. “Sebab, sebagian dari kelompok ini umumnya sudah menetapkan pilihannya jauh sebelum masa tenang,” jelas Jamiluddin.
Sebagian lagi, lanjut Jamiluddin, kelompok pemilih ini juga sangat pragmatis. “Mereka kerap menjadi sasaran dari capres dan caleg tertentu untuk memilihnya. Umumnya yang dilakukan dengan serangan fajar,” tutur Dekan Fikom IISIP, Jakarta 1996-1999 ini.
Jamiluddin menyayangkan, masa tenang justru menjadi ajang transaksi untuk memperoleh suara. “Situasi seperti inilah yang harus diawasi Bawaslu, agar masa tenang tidak terjadi politik uang,” tegas Jamiluddin.
Mantan Sekjen Media Watch ini menambahkan, masa tenang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan capres dan caleg. “Penyalahgunaan ini yang harus dideteksi Bawaslu agar Pilpres dan Pileg tetap berlangsung jujur dan adil tanpa adanya politik uang,” pungkas Jamiluddin Ritonga. (Daniel)