JAKARTA: Sejatinya proses Pemilu 2024 belum benar-benar usai. Hasil Pemilu 2024 masih dalam proses penghitungan, dan belum ada pasangan yang resmi ditetapkan KPU sebagai pemenangnya. Beberapa lembaga survei sudah melakukan perhitungan cepat (quick count) terhadap hasil pemilu, dan hasilnya menunjukkan keunggulan paslon nomor 02 (Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka) dibanding dua paslon lainnya.
Hasil real count per 27 Februari 2024 pukul 09.00 WIB di website resmi KPU juga sementara memperlihatkan keunggulan paslon 02 dengan persentase 58,84 persen dengan jumlah suara yang masuk 77,24 persen.
Akan tetapi, meskipun euforia kemenangan terlihat sudah dirayakan lebih dini oleh paslon 02 beserta para pendukungnya, patut dicatat, hasil tersebut bukan merupakan hasil resmi Pemilu 2024.
Tahapan Pemilu belum usai, Paslon calon pemenang sudah merayakannya, tidak hanya di Istora Senayan tapi merangsek hingga Istana Presiden, dengan pembahasan rencana Program Makan Siang Gratis, terkesan sangat prematur.
Kinerja APBN yang mulai pulih, justru akan diobrak-abrik oleh program makan siang gratis yang dipaksakan.
Jika dilihat dari kinerja APBN, defisit APBN 2023 mengalami koreksi dibandingkan 2022, yaitu 1,65% dari PDB atau senilai Rp347,6 T, namun tetap saja defisit anggaran tersebut menunjukan adanya selisih antara pendapatan dan belanja yang berdampak pada sempitnya kapasitas fiskal Pemerintah Pusat dalam mengembangkan program baru.
Defisit APBN berkorelasi dengan rencana program pemerintah untuk menyelenggarakan makan siang gratis dengan anggaran mencapai Rp450 T. Program Makan Siang Gratis ini berdampak pada pemotongan atau mengorbankan program lainnya.
Hal ini menjadi pertanyaan berikutnya, program pemerintah mana yang akan dikorbankan untuk memuluskan rencana makan siang gratis ini? Apalagi muncul wacana akan menghapuskan subsidi energi seperti listrik dan BBM untuk menutupi anggaran makan siang gratis, sebab alokasi i anggaran subsidi energi Rp 350 triliun.
Sekalipun wacana kenaikan BBM dan tarif Listrik telah ditolak Menteri ESDM, tetap saja rakyat harap-harap cemas, karena narasi subsidi tidak tepat sasaran selalu menjadi dalih pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dan Listrik yang berdampak pada kenaikan anggaran. Program Makan Siang Gratis serampangan dilekatkan dalam Fungsi Pendidikan dan Fungsi Perlindungan Sosial.
Jika mengutip pernyataan Prabowo pada acara Trimegah Political and Economic Outlook 2024 beberapa saat lalu, program makan siang gratis dilekatkan dengan fungsi Pendidikan dan perlindungan sosial. Pernyataan pragmatis ini berpotensi menegasikan atau mereduksi program prioritas lainnya di dua fungsi tersebut.
Anggaran fungsi Pendidikan senilai Rp655 T, sedangkan anggaran fungsi Perlindungan Sosial senilai Rp496 T. Patut dicermati, masing-masing fungsi tersebut telah memiliki program-program prioritas.
Alokasi anggaran fungsi Pendidikan sudah diplot untuk bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), beasiswa, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program lainnya. Begitu pula dengan fungsi Perlindungan Sosial yang telah memiliki peruntukan program prioritasnya, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial (Bansos), iuran PBI JKN, dan program lainnya.
Bagaimana mungkin Presiden menunggangi Bansos untuk kepentingan Pilpres, kemudian setelah anaknya menjadi bakal kuat Wakil Presiden, kemudian bansosnya dialihkan ke program yang belum jelas bentuknya.
Pemaksaaan anggaran program makan siang gratis akan berpotensi menciptakan masalah baru. Apabila dipaksakan untuk program makan siang gratis maka akan ada yang dikorbankan dan berpotensi menganggu stabilitas yang ada.
Ditambah lagi, program makan siang gratis masih belum jelas teknisnya, pendataan penerima manfaat, alur pasok bahan baku, dan implementasinya masih ke penerima manfaat. Alih-alih menciptakan kesejahteraan, program makan siang gratis berpotensi menambah persoalan seperti memperlebar defisit anggaran, merusak program-program yang sudah stabil, menciptakan tumpukan sampah akibat makanan sisa, menganggu neraca perdanganan akibat bahan baku yang diimport.
Apalagi jika sumber anggaran program makan siang gratis dari realokasi anggaran akibat pengurangan anggaran subsidi energi. FITRA menilai, tindakan itu merupakan penyelundupan anggaran publik yang tidak pernah masuk akal. Pemerintah harusnya berpikir lebih jernih dan kreatif, dalam melihat sumber pendapatan untuk membiayai program makan siang gratis tidak bisa merealokasi anggaran dari program lainnya. kecuali memang, birokrasi di Indonesia benar-benar bekerja keras untuk melakukan efesiensi anggaran. Meskipun itu sekali belum tentu efektif. Pondasi sumber anggaran program makan siang gratis masih compang-camping, tidak jauh berbeda dengan rencana implementasinya.
Sampai sejauh ini belum ada gambaran yang memperjelas program makan siang gratis akan didanai oleh sumber APBN dari mana? Basa Basi Netralitas Presiden. Netralitas Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024 sejatinya betul-betul diragukan sejak Gibran Rakabuming Raka, anak pertamanya, ikut dalam kontestasi pemilu kali ini sebagai pasangan Prabowo Subianto. Sebab meski berulang kali sempat menyampaikan pernyataan dirinya netral, ataupun tidak ikut dalam kampanye pemenangan paslon 02, berbagai kebijakan yang dikeluarkan Jokowi selama masa kampanye pemilu 2024 justru menguatkan dugaan Presiden Jokowi memang berpihak pada paslon 02.
Salah satunya adalah dengan pemberian bansos menjelang pemilu, yang dinilai oleh banyak pengamat politik sebagai bentuk dukungan atau kampanye beliau bagi paslon 02. Netralitas yang disampaikan Jokowi tampak menjadi omong kosong belaka, apalagi ketika beliau juga sempat terlihat ‘turun gunung’ dengan membagikan bansos secara langsung di depan istana negara.
Netralitas Jokowi tampak semakin jelas sebagai bualan ketika dalam sidang kabinet paripurna yang dipimpinnya pada Senin 26 Februari 2024, juga sudah membahas soal program makan siang gratis. Padahal program tersebut jelas adalah merupakan janji kampanye paslon 02.
Menurut Jokowi, program kerja mendatang harus bisa mengakomodasi program dari presiden terpilih di Pilpres 2024. Hal ini tentu saja bertentangan dengan hukum, sebab proses penghitungan suara pilpres 2024 masih berlangsung dan belum ada hasil resmi yang ditetapkan KPU.
Tidak patut tentunya seorang presiden yang menjabat membahas program dari paslon mendatang, mendahului lembaga berwenang resmi yang seharusnya menyampaikan hasil Pilpres 2024.
Maka dari itu, Seknas FITRA menyatakan sikap:
1. Seknas FITRA menilai otak-atik anggaran untuk makan siang gratis menunjukkan indikasi Presiden tidak pernah netral dalam kontestasi Pilpres. Selain itu, otak-atik anggaran merupakan indikasi pemerintah tidak kreatif dalam upaya meningkatkan pendapatan negara dari sumber-sumber potensial lainnya, untuk menambah anggaran program prioritas Presiden baru. Pun menggali potensi pendapatan baru, upaya pemerintah biasanya tidak jauh dari membebani rakyat dengan berbagai kebijakan perpajakannya, dengan menaikan tarif pajak yang secara otomatis berdampak pada pengurangan pendapatan masyarakat. Solusi-solusi pemerintah seringkali tidak solutif bagi rakyat di akar rumput.
2. Seknas FITRA menilai program makan siang gratis sejauh ini masih belum memiliki pondasi yang cukup kuat, masih banyak lemah dari mulai payung regulasi yang mengaturnya, kerangka teknis implementasi, sumber bahan baku, aktor yang terlibat, validitas data penerima manfaat, dan sumber anggaran untuk mendukung program tersebut.
3. Seknas FITRA mendorong Pemerintahan saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, fokus pada persoalan Republik yang ada di depan mata, seperti kenaikan harga pangan yang makin tidak terkendali, dampak perubahan iklim yang tak kunjung diatasi secara serius, antisipasi perlambatan ekonomi global, dan persoalan lainnya.
4. Seknas FITRA menilai, pembahasan Program Makan Siang Gratis dalam Rancangan APBN 2025 merupakan bentuk kelancangan teknokratis. Berjalan tanpa memperhatikan hasil akhir Pilpres yang resmi dikeluarkan oleh KPU. Bahwa benar, Rencana Kerja Pemerintah perlu berkesinambungan dalam masa transisi pergantian Presiden dan Wakil Presiden, namun pembahasan itu seharusnya dilakukan setelah KPU mengumumkan secara resmi hasil dari Pilpres. (*)