Pada 28 Februari 2024, Presiden Joko Widodo akan memberikan kenaikan pangkat kehormatan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada Menteri Pertahanan (Menhan) RI Letjen (purn) Prabowo Subianto.
Gelar serupa pernah disematkan kepada sejumlah purnawirawan TNI yang sempat menjabat menteri. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Luhut Binsar Pandjaitan, Agum Gumelar, A.M. Hendropriyono, hingga Sarwo Edhie Wibowo.
Kementerian Pertahanan (Kementan) menerangkan, alasan pemberian tanda kehormatan tersebut adalah karena dedikasi serta kontribusi Prabowo Subianto telah diakui dalam dunia militer. Mabes TNI dikabarkan merupakan pengusul pemberian jenderal penuh untuk Prabowo Subianto dan diklaim telah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Atas keputusan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mengecam pemberian kenaikan pangkat kehormatan Jenderal (HOR) bintang empat untuk Prabowo Subianto. Hal ini tidak hanya tidak tepat tetapi juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998.
Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru. Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karir militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.
Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.
Perlu diingat, berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo Subianto telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro demokrasi pada tahun 1998. Berdasarkan surat keputusan itu Prabowo Subianto kemudian dijatuhkan hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat oleh TNI sejatinya telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI. Selain itu, apresiasi berupa pemberian kenaikan pangkat kehormatan inipun justru bertentangan dengan janji Presiden Jokowi dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus Pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu di tahun 2014 lalu.
Terlebih, pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak tahun 2006. Dengan demikian, hal ini haruslah beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku alih-alih melindungi mereka dengan tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan negara ini.
Pemberian gelar kehormatan bagi Prabowo Subianto juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998. Kebebasan yang kita nikmati hari ini merupakan buah perjuangan para martir dari Gerakan Reformasi 1998.
Bagaimana mungkin, mereka yang dulu ditumbangkan oleh Reformasi 1998 justru hari ini ingin diberikan penghargaan. Bahkan, Prabowo Subianto belum pernah diadili atas tuduhan kejahatan yang dia lakukan.
Jadi, nama Prabowo Subianto masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan yang terbuka melalui Pengadilan HAM ad hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998.
Serangkaian tindakan Presiden Jokowi yang kerap kali memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia tentu turut memperkuat belenggu impunitas di bumi pertiwi. Hal ini kembali menunjukan bahwa human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
Padahal, memeriksa latar belakang atau rekam jejak personil yang akan menduduki jabatan-jabatan publik atau yang disebut juga vetting mechanism, merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif, tapi tidak pernah berjalan di Indonesia sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada 1998.
Padahal, soft law internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni dalam Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity pada Februari 2005 (Rangkaian Prinsip yang Diperbarui untuk Perlindungan dan Promosi HAM Melalui Tindakan Memerangi Impunitas) dalam Prinsip 36 menyebutkan “Public officials and employees who are personally responsible for gross violations of human rights, in particular those involved in military, security, police, intelligence and judicial sectors, shall not continue to serve in State institutions.” (Pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara).
Lebih dari itu, pemberian gelar kehormatan terhadap Prabowo Subianto jelas-jelas akan merusak nama baik institusi TNI. Bagaimana mungkin orang yang diberhentikan oleh TNI pada masa lalu karena terlibat atau bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusiaan hari ini akan diberi gelar kehormatan.
Artinya, Presiden Joko Widodo telah memaksa institusi TNI untuk menjilat ludah mereka sendiri demi kepentingan politik keluarga Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo tidak hanya mempolitisasi TNI, melainkan meruntuhkan marwah dan martabat TNI yang telah dibangun oleh banyak prajurit dengan darah dan air mata. Kami memandang sudah seyogyanya TNI tidak ditarik-tarik dan dilibatkan dalam “cawe-cawe” politik praktis dengan melantik seorang jenderal pelanggar HAM dengan pangkat kehormatan.
Kami mengingatkan agar alat pertahanan keamanan negara seperti TNI dan Polri untuk tetap netral dan tidak berpihak dalam aras politik apapun. Pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo Subianto akan semakin memperpanjang rantai impunitas. Dengan pemberian gelar tersebut, maka tindakan kejahatan yang dilakukan atau melibatkan prajurit militer akan dianggap sebagai hal “normal” karena terduga pelakunya alih-alih diproses hukum tapi justru diberi gelar jenderal kehormatan.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:
1. Presiden untuk membatalkan rencana pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
2. Komnas HAM RI mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
4. Pemerintah dalam hal ini Presiden beserta jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia;
5. TNI-Polri untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.
Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) terdiri dari: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),
IMPARSIAL,
IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia),
Asia Justice and Rights (AJAR),
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM),
ELSAM, HRWG, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Centra Initiative,
Lokataru Foundation,
Amnesty International Indonesia,
Public Virtue, SETARA Institute,
Migrant CARE,
The Institute for Ecosoc Rights,
Greenpeace Indonesia, Public Interest Lawyer Network (Pil-NET Indonesia), KontraS Surabaya
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Banten (LBH Keadilan), Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPSHAM), dan Federasi KontraS.
*Penulis adalah Koordinator KMS