Jokowi akan tetap jadi magnet politik nasional pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan paslon 01 dan 03.
Jokowi tetap menjadi magnet karena Prabowo menganggapnya sebagai mentor politik, bahkan Menhan RI itu menganggap dirinya sebagai kelanjutan dari Jokowi.
Hal itu tentunya tidak akan berpengaruh pada jarak elite politik kepada Jokowi. Para elite akan tetap mendekat degan Jokowi hingga masa baktinya usai pada 20 Oktober 2024.
Kedekatan dengan Jokowi bahkan akan terus dijaga agar tetap berpeluang mendapat posisi di Prabowo nantinya. Bahkan kedekatan dengan Jokowi dapat menjadi garansi akan tetap berada di pusaran kekuasaan saat Prabowo berkuasa.
Jadi, Jokowi tidak akan dijauhi para elite di tanah air meskipun waktunya memimpin Indonesia tinggal enam bulan lagi. Kedekatan dengan Jokowi justru akan menguntungkan secara politis.
Prabowo justru akan berpeluang melirik orang-orang dekat Jokowi untuk menjadi bagian dari kabinetnya. Hal itu tentunya karena Jokowi dianggap berjasa mengantarkan Prabowo menjadi Presiden RI.
Hal itu tentu berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SbY) yang di masa akhir jabatannya tidak cawe-cawe dalam urusan paslon capres. SBY berupaya netral dalam Pilpres.
Karena itu, SBY tidak memberikan jasa untuk keuntungan paslon tertentu. SBY benar-benar ingin pelaksanaan pilpres jujur dan adil.
Jadi, tidak ada jasa apa pun yang membuat pemenang pilpres untuk berhutang budi kepada SBY. Hal itu membuat posisi SBY lemah paska diumumkan pemenang Pilpres 2024.
Dalam kondisi demikian wajar bila para elite menjauhi SBY. SBY tidak lagi dianggap “gula-gula” dalam politik.
Para elite justru merapat ke pemenang capres untuk mencari keberuntungan ke “gula-gula” politik yang baru. Hal itu tentunya logis bagi elite yang pragmatis. Elite tipe seperti itu justru banyak di negeri ini. Kelompok elite ini hanya mau merapat ke “gula-gula” politik. (Dosen Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jakarta *)