Selama Jokowi berkuasa, rakyat (buruh) dikorbankan dengan membungkam hak konstitusional dan demokrasi mereka untuk turut menentukan kebijakan maupun keputusan politik negara yang berdampak pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh dan keluarganya. Perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan buruh terus dikurangi atas nama kemudahan investasi dan pemulihan ekonomi.
Sepanjang masa pasca Reformasi, rezim berganti dengan mempertahankan tiga paket kebijakan perburuhan yang tidak berpihak pada buruh dan serikat buruh. Terpilih sebagai Presiden di tahun 2014, Joko Widodo menerbitkan 7 paket kebijakan ekonomi yang melanjutkan bahkan memperparah praktek kebijakan anti-buruh tersebut. Di tahun 2015, PP 78 disahkan meski mendapat penolakan luas dari gerakan buruh.
Melalui PP, penetapan upah minimum didasarkan pada besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Aturan inilah yang menandai dimulainya pembungkaman serikat buruh. Melucuti fungsi dan peran serikat pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi pekerja/serikat dan keluarganya sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Di tahun 2020, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saling bahu membahu mengesahkan “Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja” yang inkonstitusional dan mengabaikan prinsip demokrasi dalam pembentukannya. Peraturan yang ditolak oleh semua serikat buruh dan banyak organisasi masyarakat sipil. Tiga puluh delapan gugatan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi berujung pada Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Di dalamnya, MK berlandaskan pada analisa formil dimana pembuatan UU Cipta Kerja tidak demokratis dengan memperhatikan tahapan pembentukan undang-undang yang baik, pelibatan partisipasi publik yang bermakna, dan bertentangan dengan Konstitusi, UUD NRI 1945.
Alih-alih merevisi dengan mengikuti putusan MK, pemerintah melakukan pengaspalan jalan pintas. Berlandaskan pada alasan “kegentingan yang memaksa” Jokowi justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Isinya tak ada beda dengan Undang-Undang inkonstitusional sebelumnya.
Berjalan selama kurang lebih 3 tahun, Undang-Undang Cipta Kerja begitu nyata berdampak buruk bagi kaum buruh di Indonesia. Dengan memanfaatkan kebijakan inkonstitusional ini yang gayung bersambut dengan masa Covid-19 kaum pemodal semakin leluasa melakukan praktik fleksibilitas hubungan kerja, PHK terhadap buruh, politik upah murah.
Data YLBHI-LBH sepanjang Maret 2020 hingga April 2021 menunjukkan, kasus perburuhan tinggi di masa Covid-19. Dari 106 kasus yang terkumpulkan, tujuh puluh sembilan di antaranya adalah kasus buruh individual sedangkan sisanya kasus kolektif yang didampingi oleh serikat buruh. Di bagi menurut kasusnya, PHK sepihak menempati posisi pertama dengan 69 kasus, menyusul 17 kasus dirumahkannya buruh tanpa diupah, masalah kontrak dengan 10 kasus, dan pemberangusan serikat sebanyak 9 kasus.
Tingginya angka PHK ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat telah memberikan karpet merah lapis dua bagi fleksibilitas pasar tenaga kerja setelah UU Ketenagakerjaan Tahun 2003. Tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 untuk melegalkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, rezim Jokowi di masa pemerintahan 10 tahunnya juga mengesahkan UU No. 6 Tahun 2020 tentang Pemagangan di Dalam Negeri dan merevisi PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Dua paket kebijakan ini telah mendorong rakyat Indonesia untuk mengikuti mau Jokowi semata: menciptakan rezim kerja. Kaum buruh dituntut untuk terus bekerja dengan upah yang minim di tengah membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok. Di tengah mahalnya biaya pendidikan. Di tengah mahalnya biaya kesehatan di satu sisi, di sisi lain busuknya sistem jaminan sosial nasional.
Undang-Undang Cipta Kerja juga berprinsip bahwa izin berusaha harus dipermudah. Ini menghasilkan kemudahan perusahaan-perusahaan untuk melakukan relokasi dan meninggalkan buruh-buruhnya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa hak dasar yang mencukupi.
Di tempat mereka membangun lapangan kerja, para pengusaha disambut dengan buruh-buruh upah murah bahkan tak perlu diupah! Tak hanya itu, para pengusaha juga disambut oleh buruh yang relatif tidak punya pengalaman berserikat atau perjuangan-perjuangan hak melawan majikan. Ini adalah modal berharga bagi para pemodal.
Dampaknya:
Kaum buruh dihalangi dan dihilangkan kesadaran kritisnya untuk bergabung dengan serikat buruh dengan jam kerja yang panjang dan upah yang minim sehingga mereka tidak ada waktu berpikir tentang berserikat.
Hilangnya anggota-anggota serikat buruh karena PHK massal dan pemberangusan serikat (union busting) yang terus menggeliat.
Melemahnya kekuatan serikat buruh berhadap-hadapan dengan pemodal. Hak hak buruh terus dilanggar dan kesejahteraan buruh semakin jauh.
Belajar dari realitas tersebut, kami melihat tidak pernah ada kebijakan baik sedikitpun yang dikeluarkan oleh Negara selama Jokowi berkuasa bagi kaum buruh di Indonesia.
Untuk itu, dalam peringatan Hari Buruh 2024 ini, kami:
1. Menyerukan persatuan gerakan rakyat dan buruh untuk memulihkan kerusakan demokrasi dan negara hukum Indonesia untuk memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara (hak hak buruh) Indonesia;
2. Mendesak pemerintah dan DPR RI harus segera mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan berbagai peraturan turunannya yang menindas hak-hak buruh dan menjauhkan buruh dan keluarganya dari kesejahteraan;
3. Mendesak pemerintah, DPR RI, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk menghentikan praktik pengelolaan negara yang otoriter dan pembuatan regulasi diskriminatif yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, konstitusi dan hak asasi manusia (HAM) dan hanya menguntungkan kelompok pemodal (investor) dan menindas buruh;
4. Mendesak seluruh aparat negara, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjamin perlindungan dan penghormatan kemerdekaan warga negara (buruh) untuk berorganisasi, berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi untuk memperjuangkan haknya sebagaimana mandat konstitusi. (Ketua Umum YLBHI *)