Petinggi MPR terus bersafari ke elite nasional untuk mengembalikan pemilihan presiden (pilpres) secara tidak langsung melalui pemilihan oleh MPR RI.
Upaya petinggi MPR itu tentu untuk mendapat justifikasi dalam mengamandemen konstitusi. Sebab, hal itu sudah lama mereka gaungkan namun selalu mendapat penolakan dari anak bangsa yang pro demokrasi.
Penolakan mengamandemen pasal terkait sistem pilpres wajar karena dinilai bertentangan dengan prinsif kedaulatan rakyat. Hal ini juga sejalan dengan roh sistem demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Karena itu, presiden yang dipilih rakyat harus mewakili suara rakyat.
Hal itu juga sejalan dengan konsep sistem pemerintahan presidensil. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat dimana mandatnya langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Karena itu, tidak ada yang salah dalam pemilihan presiden secara langsung. Sistem itu justru mencerminkan kedaulatan rakyat sesungguhnya, tanpa diwakilkan melalui MPR. Hanya saja ini dapat dilaksanakan bila berlaku dan tegaknya hukum di Indonesia dan diakuinya Hak Asasi Manusia (HAM) oleh setiap anggota masyarakat.
Jadi, kalau persoalannya mengembalikan sistem pilpres langsung ke tidak langsung karena maraknya politik uang, maka itu sikap yang konyol. Sebab, kalau ini yang terjadi, maka masalahnya bukan sistem pilpresnya, tapi pihak-pihak yang menjadi peserta pilpres, termasuk capresnya sendiri.
Dalam konteks ini, peserta pilpres, termasuk calonnya, justru yang mengabaikan hukum dan HAM. Sebab, dengan membenarkan politik uang, mereka justru sudah tidak tegak melaksanakan hukum dan melanggar HAM.
Karena itu, kalau pilpres langsung dinilai biaya tinggi, bisa jadi hal itu justru datang dari peserta capres dan calonnya. Mereka bisa saja melakukan politik uang, memberi sembako, biaya perjalanan dengan tim yang gemuk, jor-joran iklan, serta biaya untuk saksi.
Khusus biaya saksi, untuk apa dikeluarkan oleh pihak peserta pilpres. Sebab, hal itu sudah menjadi tugas Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan suara.
Bila tugas itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik oleh Bawaslu, maka yang bermasalah ada pada lembaga pengawas itu. Sebab, kalau Bawaslu bertugas sesuai fungsinya seharusnya tidak perlu ada saksi dari peserta pilpres. Hal ini tentu akan menghemat cost bagi peserta pilpres.
Selain itu, pilpres langsung dinilai akan memunculkan keterbelahan ditengah masyarakat, juga tidak logis. Sebab, sudah berulang pilpres secara langsung keutuhan NKRI tetap terjaga.
Jadi, kalau ada keterbelahan hal itu bisa jadi karena dari peserta pilpres itu sendiri. Para peserta pilpres melakukan kampanye hitam sehingga membuat pendukungnya apriori terhadap peserta dan pendukung capres lainnya. Kampanye hitam ini, suka tidak suka selalu mengemuka setiap pilpres.
Karena itu, keterbelahan di tengah masyarakat dapat diatasi bila peserta pilpres hanya menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya. Peserta pilpres tidak perlu menguliti capres lainnya dengan berbagai pesan negatif.
Jadi, bila semua itu dilakukan, seharusnya tidak ada alasan yang kuat untuk mengembalikan pilpres secara tidak langsung. Hal itu tak boleh dilakukan karena membawa Indonesia mundur ke masa Orba. (Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP Jakarta 1996-1999 *)