ADA fenomena menarik yang nyaris luput dari perhatian terkait promosi pejabat eselon satu di Kejaksaan.
Disebut menarik karena mereka begitu melesat lompatannya setelah menjabat hanya satu bulan hingga 4 bulan sebagai kepala kejaksaan tinggi (Kajati) kelas A alias kelas satu yang masuk kategori eselon dua.
Dalam konteks Olimpiade Paris yang baru usai, prestasi mereka bisa disebut luar biasa !
Entah kapan rekor tersebut bakal dipecahkan. Hanya waktu yang akan menjadi saksi.
Kedua pejabat dimaksud, adalah Narendra Jatna dan Rudi Margono.
Sebagai informasi, Narendra dilantik sebagai Kajati Jakarta pada Selasa (6/2), dipromosi sebagai Star Ahli Jaksa Agung bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya pada Rabu (20/3). Terakhir, sebagai Jamdatun pada Kamis (4/7).
Rudi Margono lepas dari Kajati Kepri dipromosi sebagai Kajati Jakarta pada Kamis (4/4) dan ditunjuk sebagai Kepala Badan Diklat Kejaksaan pada Rabu (7/8).
‘KEPENTINGAN’
Fenomena yang tidak biasa itu dalam konteks budaya birokrasi di tanah bukan sesuatu yang luar biasa. Sebab, jauh sebelum Kemerdekaan praktik itu sudah dilakukan di era Kerajaan di tanah air.
Praktik tersebut mengemuka kembali saat Walikota Sola Gibran Rakabuming Raka lompat menjadi Wapres terpilih setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi tentang usia belum 40 tahun tapi berpengalaman menjadi kepala daerah sehingga bisa berkompetisi pada Pilpres 2024.
Pembedanya dengan praktik di Kejaksaan semua jabatan sebagai persyaratan untuk ditunjuk sebagai pejabat eselon satu dipenuhi.
Lepas dari formal legalistik esensinya sama, kepentingan?
Kepentingan tersebut bisa dimaknai sebagai kepentingan jangka pendek dan bisa pula dimaknai kepentingan jangka panjang bergantung sudut pandang dan kepentingan lagi.
Terkait kepentingan terakhir, adalah demi penguatan birokrasi moderen dan institusi. Jadi ukurannya jelas bukan semata kehendak Empunya kekuasaan.
Ukuran ini bisa didekati dengan Struktur Kejaksaan, yang meliputi bidang Pidsus, Pidum, Datun, Pembinaan, Pengawasan, Pidmil dan Pendidikan.
Bila 60 persen dari parameter itu dipenuhi, maka akan lahir pemimpin- pemimpin yang mumpuni. Pastinya pula disegani di internal maupun eksternal.
KURSI JAKSA AGUNG
Lepas dari diskursus soal lompatan prestasi. Ada pertanyaan yang tidak kalah menarik dan bahkan bisa disebut paling menonjol adalah
Kursi Jaksa Agung ?
Sebagaimana diketahui, masa Pemerintahan Jokowi -Ma’ Ruf Amin akan segera berakhir bersama Kabinetnya dan Prabowo bakal dilantik dan disumpah sebagai Presiden ke-8 pada 20 Oktober mendatang.
Maka menjadi sah dan wajar, apabila banyak pihak berkepentingan agar Prabowo Subianto melirik dan menjadikan sebagai Jaksa Agung.
Sejak awal 2024, aneka bentuk dilakukan para pihak yang merasa dirinya cukup syarat untuk menjadi Jaksa Agung, mulai operasi senyap sampai pencitraan diri dengan segala aksesoris yang belakangan banyak disoal oleh kalangan akademis perguruan tinggi negeri.
Dari studi kepustakaan, Jaksa Agung tidak pernah dijabat dua kali oleh orang yang sama secara paripurna.
Pernah, Hendarman pernah dipercaya untuk masa kedua pemerintahan SBY, tapi kemudian digugat oleh Yusril Ihza Mahendra di Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan.
Lainnya, adalah jaksa aktif, seperti Alm. Singgih dan Sudjono. Lalu orang luar dan pensiunan jaksa. Mulai, Alam. Letjen TNI Andi M. Ghalib, Abdul Rachman dan Pensiunan Jaksa Alm. Basrief Arief serta HM. Prasetyo.
Pada akhirnya, semua kembali kepada Prabowo Subianto. Tentu, setelah memperhatikan kompetensi dan rekan jejak dan program Pemerintahan Prabowo lima tahun ke depan.
Prabowo adalah Mantan Prajurit Tempur yang meniti karir dari berbagai operasi dan punya sikap tegas. Artinya, dia butuh Jaksa Agung yang berpengalaman dalam artian sesungguhnya dan kepemimpinan yang tangguh.
Siapa dia ?
Mari, kita tunggu putusan Prabowo Subianto, Jenderal Hor TNI. (Wartawan Senior *)