JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden menjadi “angin segar” bagi demokrasi Indonesia.
Pasalnya, selama ini UU Pemilu membatasi hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari parlemen atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
“Putusan MK tersebut tentu akan menjadi bagian pertimbangan kami dalam merevisi UU Pemilu dan melakukan constitutional engineering terhadap kehidupan demokrasi konstitusional kita,” kata Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan dalam keterangan resminya, Kamis (2/1/2025).
Lebih jauh Anggota Fraksi Partai Golkar itu menilai MK bekerja secara profesional dan independen.
“Pendapat saya, putusan MK tersebut bagi kami sebagai pembentuk undang-undang sama saja dengan berbagai putusan MK sebelumnya, yang harus kami hormati karena sifat putusannya yang bersifat akhir dan mengikat (final and binding),” ujar pria yang akrab disapa Wawan ini.
Meskipun demikian, Wawan memberikan catatan terhadap putusan MK tersebut kaitannya dengan konsistensi MK dalam melihat ketentuan presidential thrashold.
Hal mana setelah 33 kali pengujian ketentuan tersebut, lanjut Wawan, MK pada akhirnya mengubah pendiriannya.
“Belum tentu yang diputuskan oleh MK dalam proses pengajuan undang-undang itu merupakan suatu kebenaran konstitusional. Sejarah dan waktu yang akan mengujinya,” tutur Wawan.
Alumnus FH UGM itu menilai, ada dua alasan pokok terkait putusan MK tersebut, sehingga pemohon diberikan kedudukan hukum dan dikabulkan.
“Pertama, terbatasnya alternatif pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ditawarkan; Kedua, secara faktual dalam beberapa Pilpres terdapat nominasi beberapa partai politik dalam pengusulan pasangan calon sehingga membatasi pilihan pemilih,” urai Wawan.
Menurut Sekretaris Bidang Kebijakan Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri DPP Partai Golkar, dua alasan tersebut yang mendasari MK berpendapat inkonstitusional.
“Nanti perlu kita pelajari lagi secara lengkap putusannya. Putusan MK kan kasus konkrit bang. Jadi bagus sebagai bahan evaluasi dan penyusunan UU Pemilu ke depan,” pungkas Wawan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo. (Daniel)